Nomo
Kisah film ini masih hangat dan terus berlangsung. Tentang Aung San Suu Kyi, peremuan aktivis prodemokrasi di Myanmar. Sineas Luc Besson mengangkatnya ke dalam film rapi, aman, dan tak tergesa-gesa berdurasi 2 jam lebih sedikit. Penajaman plot film ini terletak pada suatu posisi dilematis. Ketika sang nyonya berhadapan pada pilihan antara berada di Myanmar (mendampingi rakyat melawan tirani pemerintahan junta militer) dan di Inggris (menemani sang suami yang sedang menghadapi kanker prostat, serta berada di samping dua putera tercintanya).
Alur film berjalan maju-mundur, namun tak rumit. Penonton masih gampang memahaminya. Di samping itu, film ini terkesan tak begitu ngoyo. Layaknya kita mendengar sebuah jalinan cerita dari seorang teman tukang ngobrol, bukan seperti kita membaca artikel koran atau majalah yang sejatinya singkat, lugas, padat tapi nyatanya tak sedikit malah membuat pembacanya harus berkali-kali membaca ulang kalimat yang telah lalu. The Lady hampir-hampir lebih menyerupai sensasi sewaktu kita menonton mini seri macam Band of Brothers atau sejenisnya.
Salvo untuk Michelle Yeoh! Interpretasinya terhadap tokoh Suu Kyi sungguh sangat bisa diterima. Kekuatan film ini, kalau saya pikir, terletak pada kasting. Dua pemeran utama yakni Suu Kyi dan suaminya memuaskan. Mereka perlihatkan jalinan asmara nan dewasa penuh pengertian. Adegan ketika Suu Kyi menyanjung suaminya saat santai kala sore hari berdiri di atas balkon setelah sekian lama terpisah dengan mengucap, (lebih-kurang begini…) “engkau suami tersabar dalam sejarahâ€, sempat membuat saya tersenyum dalam artian kocak-romantis.
Kalau ditimbang dari aspek historis, mungkin The Lady masih berekanan dengan film-film roman tokoh historis lainnya macam The Queen, The Iron Lady, dkk. Mudah sekali tuk terinspirasi dengan tokoh macam Suu Kyi. Oleh karenanya, film ini tak perlu hiperbolik diceriterakan dan Luc Besson nyaris mengemasnya tanpa bumbu penguat drama berarti. Justru itu telah menjadikan film ini terasa lumayan.
Â